Di tengah hiruk pikuk pertumbuhan ekonomi yang digaungkan, sebuah cerita pilu terkuak dari data ekonomi terkini. Fenomena "makan tabungan" yang terjadi di tengah masyarakat, bukan hanya sekadar angka, melainkan refleksi nyata dari kesulitan ekonomi yang dialami banyak orang.
Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa rerata saldo tabungan masyarakat di bank per April 2024 mengalami penyusutan drastis dibandingkan dengan posisi sebelum pandemi Covid-19 tahun 2019. Jika pada tahun 2019 rerata saldo tabungan mencapai Rp3 juta per nasabah, kini angka tersebut merosot tajam menjadi hanya Rp1,8 juta per nasabah.
Fenomena "Makan Tabungan": Bukan Sekadar Angka, Melainkan Cerita Pilu
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik yang kering, melainkan gambaran nyata dari kesulitan ekonomi yang dialami banyak orang. Di balik angka Rp1,8 juta, tersembunyi cerita pilu tentang bagaimana masyarakat terpaksa menguras tabungan mereka untuk bertahan hidup.
Siapa yang Terdampak?
Dampak "makan tabungan" ini dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat, terutama segmen menengah ke bawah. Kondisi bisnis yang belum pulih pasca pandemi, membuat banyak perusahaan melakukan efisiensi, yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kisah Nyata di Balik Data
Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang kehilangan pekerjaan akibat PHK. Ia harus menghidupi anak-anaknya dan membayar cicilan rumah. Tabungan yang selama ini disimpan untuk kebutuhan darurat, kini terpaksa dirogoh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Atau seorang pekerja lepas yang penghasilannya tidak menentu. Ia terpaksa menguras tabungannya untuk bertahan hidup ketika proyeknya terhenti akibat pandemi.
Dampak "Makan Tabungan" terhadap Ekonomi
Fenomena "makan tabungan" ini memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian.
- Penurunan Daya Beli: Ketika masyarakat terpaksa menguras tabungan mereka, daya beli mereka akan menurun. Hal ini akan berdampak pada penurunan konsumsi, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
- Penurunan Investasi: Ketika masyarakat merasa tidak aman secara finansial, mereka cenderung akan menunda investasi. Hal ini akan berdampak pada penurunan investasi di berbagai sektor, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
- Peningkatan Risiko Kredit: Ketika masyarakat terpaksa menguras tabungan mereka, mereka mungkin akan lebih rentan terhadap risiko kredit. Hal ini akan berdampak pada peningkatan kredit macet, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pemerintah dan lembaga keuangan harus mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi fenomena "makan tabungan" ini.
- Meningkatkan Daya Beli Masyarakat: Pemerintah dapat meningkatkan daya beli masyarakat melalui program-program bantuan sosial, seperti BLT dan subsidi.
- Memperkuat Jaring Pengaman Sosial: Pemerintah harus memperkuat jaring pengaman sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan, untuk melindungi masyarakat dari risiko kehilangan pekerjaan.
- Meningkatkan Akses terhadap Kredit: Lembaga keuangan harus meningkatkan akses terhadap kredit bagi masyarakat yang membutuhkan, dengan suku bunga yang lebih rendah dan persyaratan yang lebih mudah.
- Mendorong Pertumbuhan Ekonomi: Pemerintah harus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai kebijakan, seperti investasi infrastruktur, pengembangan sektor UMKM, dan peningkatan daya saing industri.
Kesimpulan
Fenomena "makan tabungan" merupakan cerminan dari kesulitan ekonomi yang dialami banyak orang. Di balik angka statistik yang kering, tersembunyi cerita pilu tentang bagaimana masyarakat terpaksa menguras tabungan mereka untuk bertahan hidup.
Pemerintah dan lembaga keuangan harus mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi fenomena ini, agar masyarakat dapat keluar dari kesulitan ekonomi dan kembali hidup sejahtera.
[RELATED]