Di era digital yang serba cepat, di mana media sosial menjadi panggung pamer kekayaan dan pencapaian (flexing), tersembunyi sebuah masalah yang mengancam masa depan bangsa: krisis eksistensi di kalangan generasi muda. Kehilangan jati diri dan terjebak dalam jurang kesenjangan sosial dan spiritual, membuat mereka merasa asing di dunia yang semakin global dan terhubung.
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menyadari bahaya laten ini dan meluncurkan Gerakan Turun ke Sekolah (GTS), sebuah inisiatif yang mengajak anak muda untuk terjun langsung ke sekolah-sekolah dan berkontribusi dalam perubahan pendidikan di Indonesia.
Mencari Makna di Tengah Kesenjangan
Founder GSM, Rizal, menjelaskan bahwa GTS bertujuan untuk mengatasi kesenjangan sosial dan spiritual yang kian menggerogoti generasi muda.
"Kesenjangan spiritual terjadi ketika ada jurang pemisah antara diri mereka saat ini dengan masa depan yang mereka impikan. Hilangnya jati diri ini membuat anak muda kehilangan eksistensi dan kemampuan untuk mengendalikan diri," papar Rizal.
Kesenjangan sosial, menurut Rizal, muncul dari perbedaan yang mencolok antara individu, terutama dalam hal materi. "Di usia yang sama, ada yang hidup bergelimang harta, sementara yang lain harus berjuang keras tanpa jaminan hasil yang sama. Ini memicu polarisasi, bullying, kekerasan, dan keterbelahan sosial yang parah," jelasnya.
Dampaknya, generasi muda semakin tertekan, kehilangan semangat hidup, dan bahkan terdorong ke jurang bunuh diri. Kasus guru muda SMK yang bunuh diri setelah menulis pesan untuk masyarakat agar tidak mengalami nasib serupa, menjadi bukti nyata dari kepedihan yang melanda generasi muda.
Pendidikan Kritis: Jembatan Menuju Eksistensi
Rizal menekankan pentingnya pendidikan kritis yang mengajarkan anak muda untuk berpikir, memilah, memaknai, dan merefleksikan informasi. Hal ini menjadi kunci untuk menghadapi era globalisasi yang semakin kompleks dan menjaga eksistensi di tengah batas negara yang semakin tipis.
"Pendidikan yang kurang kritis akan membuat siswa semakin tidak eksis di tengah global village dan memperparah deindividuasi," tegas Rizal.
Social Interest: Kunci Menjembatani Kesenjangan
Menyoroti pentingnya "social interest" yang diungkapkan oleh Alfred Adler, Rizal terinspirasi untuk mengajak anak muda turun ke sekolah.
"Dengan turun ke sekolah, anak muda akan merasa diterima, menemukan makna hidup, dan meningkatkan eksistensinya," ujar Rizal.
Menyelamatkan Alam, Menyelamatkan Masa Depan
Selain kesenjangan sosial dan spiritual, Rizal juga menyoroti kesenjangan ekologi.
"Kita harus menjaga kelestarian alam karena apa pun yang dipersiapkan anak muda untuk masa depan akan sia-sia jika lingkungan kita rusak," tegas Rizal.
GTS diharapkan dapat melahirkan pemimpin masa depan yang memiliki komitmen kuat untuk bergerak dalam aktivitas sosial dan lingkungan.
Cerita Ilham: Dari Keraguan Menuju Semangat
Ilham Ramdani, salah satu peserta GTS yang menjadi relawan di SD BOPKRI Wonosari, awalnya ragu dan bingung tentang apa yang harus dilakukan. Namun, setelah berdiskusi dengan rekan-rekannya, ia menemukan semangat untuk berkontribusi.
"Ragu saya hilang seketika setelah melihat wajah para penerus generasi. Senyum manis, tawa, dan keimutan anak-anak membuat saya semangat dan antusias," ungkap Ilham.
Program GTS juga membuat Ilham semakin ingin menyebarkan kebahagiaan dalam belajar dan meningkatkan kemampuan mengajarnya.
"GTS menjadi batu lompatan kami untuk memahami pendidikan di Indonesia saat ini dan memikirkan masa depan. Sebagai calon pemimpin, kami akan menyebarkan gerakan baik ini demi kemajuan pendidikan," tegas Ilham, Ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.
Andrea: Mencari Relevansi dalam Pendidikan
Andrea, relawan GTS lainnya, merasa bahwa pendidikan saat ini kurang relevan dengan realitas.
"Harus ada perubahan dalam metode penyampaian materi kepada anak muda. Co-creation diperlukan agar ide-ide kreatif mereka tersalurkan," kata Andrea, siswa SMAN 2 Magelang.
GTS: Sebuah Gerakan yang Berdampak
GTS telah terlaksana dalam dua batch, melibatkan 330 anak muda dan berdampak pada lebih dari 1.000 siswa di sepuluh daerah, termasuk Sleman, Kulonprogo, Gunungkidul, Klaten, Solo, Magelang, Kebumen, Cirebon, Tangerang Selatan, dan Bali.
GSM tidak hanya melibatkan anak muda, tetapi juga komunitas-komunitas di berbagai daerah, seperti Millennial Bergerak, Sumelang Community, HMP – PBI UNU Yogyakarta, Duta Kampus UIN Sunan Kalijaga, Kagem Yogyakarta, dan Rumah Impian Yogyakarta.
Harapan untuk Masa Depan
GTS bukan sekadar program, melainkan gerakan yang bertujuan untuk membangun generasi muda yang memiliki "social interest" dan peduli terhadap masa depan bangsa.
Dengan turun ke sekolah, anak muda diharapkan dapat menemukan makna hidup, mengatasi kesenjangan sosial dan spiritual, dan menjadi agen perubahan yang positif.
Gerakan ini menjadi bukti bahwa generasi muda memiliki potensi besar untuk membangun masa depan yang lebih baik, asalkan mereka diberikan kesempatan untuk berkontribusi dan menemukan jati diri mereka.